hormat grraakk..

hormat grraakk..
Google
 

ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN

Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran bagi Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu atas penghasilan yang dikenakan PPh yang tidak bersifat final.
Tetapi ada dasar penghitungan bagi Wajib Pajak tertentu :

1. Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas)

2. Wajib Pajak BUMN dan BUMD, adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak bersangkutan yang telah disahkan RUPS dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

3. Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeriuntuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).


Read More......

Tarif PPh Badan Tahun Pajak 2009

Untuk Tahun Pajak 2009 ada beberapa tarif untuk menghitung Pajak Terhutang, yaitu :

a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar 28%.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000
= Rp 1.120.000.000

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000
= Rp 287.500.000.
Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

c. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.

Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
= Rp 70.000.000

Contoh 2):
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

 Pajak Penghasilan yang terutang
= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000
= Rp772.800.000

Catatan: Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Read More......

Berita Positif Hari Ini

1. Tjiptardjo gantikan Darmin Nasution.
Apa positifnya ? Pertama Pak Tjip memang kapabel, dia yang mengangkat kasus Asian Agri, jadi untuk reformasi perpajakan diyakini masih akan diteruskan oleh beliau. Kedua, beliau ini berasal dari aparat pajak sendiri, sehingga regenerasi di DJP bisa berjalan dan meyakinkan aparatnya bahawa mereka pun bisa menjadi Direjen Pajak.

2. KPK dan Australia Teken Kerja Sama Pengembalian Aset
Ini sangat menguntungkan Indonesia, karena banyak koruptor yang melarikan diri ke Australia, dan selama ini para koruptor tersebut tidak dapat ditangkap dan asetnya juga tidak bisa disita. Semoga dengan perjanjian ini hal tersebut tidak terjadi lagi, sehingga para koruptor tersebut dapat ditangkap.

3. Polisi bekuk pembobol ATM
walaupun saya jarang menggunakan ATM, tapi saya seneng juga denger kabar ini.

4. Produsen BlackBerry Diancam Penjara 5 Tahun.
Departemen perdagangan akan menjatuhkan hukuman denda Rp 2 miliar atau pidana penjara 5 tahun terhadap produsen blackBerry, jika tidak mendirikan enam service centre di kota besar di Indonesia hingga 21 Agustus 2009.
Bravo Dept Perdagangan, saya heran, apa sih susahnya bikin service centre di sini, kenapa harus di Singapur ? Langkah Depdag saya dukung 100%





Read More......

PPh Pasal 26(4)




Menurut UU PPh No. 36 tahun 2008, pada Pasal 26 ayat 4 menyatakan bahwa : “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan : 28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp 4.900.000.000,00 (-) -----------------------------Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp12.600.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26(4) yang terutang 20% x Rp12.600.000.000 = Rp 2.520.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.


Menurut Peraturan menteri Keuangan nomor : 257/PMK.03/2008, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26(4) apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan persyaratan sebagai berikut :
a. penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannnya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;
c. penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
d. dan tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi komersial.

Dalam hal persyaratan diatas tidak lagi dipenuhi, penghasilan sebesar Rp. 12,6 milyar ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan, terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Apakah PPh pasal 26(4) ini termasuk kedalam kelompok Withholding tax yang mempunyai kewajiban per masa atau tahunan ?
Jika dilihat dari esensinya bahwa PPh pasal 26(4) ini akan timbul setelah diketahui Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak dari BUT yang bersangkutan, atau dengan kata lain diketahui setelah BUT ybs memasukkan SPT tahunannya, jadi kewajiban ini akan timbul tahunan.
Sementara itu menurut PMK nomor 184/PMK.03/2007 pada pasal 2 ayat 6 menyatakan bahwa : “PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”, atau mempunyai kewajiban per masa.




Read More......