hormat grraakk..

hormat grraakk..
Google
 

ANTARA KREDIT DAN LEASING, MANA LEBIH MENGUNTUNGKAN ?

Apa yach bedanya kredit dengan leasing ? dan mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dari sisi pajak atas dua jenis transaksi tersebut ?
Pertanyaan seperti diatas masih sering timbul pada saat perusahaan akan mengambil suatu keputusan apakah akan membeli suatu aktiva secara kredit atau melakukan leasing atas aktiva tersebut.

Yang akan ditinjau disini adalah perlakuan perpajakan dalam hal pembayaran berkala yang akan dilakukan oleh perusahaan, baik untuk pembayaran angsuran dalam hal pembelian kredit, ataupun lease payment dalam hal leasing.

Pembayaran Angsuran Kredit.

Yang dimaksud dengan pembelian secara kredit adalah pembelian suatu aktiva yang tidak

langsung dibayar secara lunas, tapi dibayar dengan cara angsuran ditambah dengan biaya bunga.
Sebenarnya yang menjadi masalah dalam pembelian kredit ini adalah apakah biaya bunga tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan ?
Dalam Pasal 6 ayat 1 huruf (a) UU PPh Tahun 2000 diketahui bahwa biaya bunga dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sepanjang pembelian aktiva tersebut berhubungan dengan kegiatan perusahaan.

Kemudian apakah aktiva tersebut langsung dapat diperhitungkan biaya penyusutannya ? dan berapa nilai dari aktiva tersebut, apakah biaya bunganya juga dikapitalisir kedalam nilai aktiva tersebut ?
Aktiva tersebut langung dapat diperhitungkan biaya penyusutannya tanpa harus menunggu sampai aktiva tersebut dibayar lunas.
Sedangkan biaya bunga untuk mendapatkan aktiva, yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun, adalah dikapitalisir kedalam nilai aktiva yang bersangkutan, sehingga menambah nilai aktiva tersebut. Dan pembebanan biayanya tidak boleh dilakukan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan.

Leasing

Leasing (Sewa Guna Usaha / SGU) adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI LESSEE

1. Finance Lease
- selama masa leasing, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli.
- Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.
- Pembayaran leasing oleh lessee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi leasing tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal masa leasing lebih pendek dari masa yang telah ditentukan, DJP melakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing.
- Dalam hal terjadi transaksi sale and lease back, harus diperlakukan sebagai 2 (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa-guna-usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa.
- Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran leasing.
- Atas penyerahan jasa ini dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

2. Operating Lease
- pembayaran operating lease yang dibayar oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
- Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing.
- Lessee wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran operating lease yang dibayarkan kepada lessor.
- Atas penyerahan jasa ini terhutang Pajak Pertambahan Nilai.

Read More......

PEMBAYARAN BUNGA KE BELANDA

“Pembayaran bunga ke Belanda apakah harus dipotong PPh Pasal 26 atau enggak sih ?”, begitu salah satu pertanyaan yang diajukan teman saya. Wah ini langsung menarik perhatian saya, karena sepanjang yang saya tahu setiap pembayaran bunga ke Luar Negeri harus dipotong dulu PPh Pasal 26-nya, tapi dengan adanya pertanyaan tersebut menggelitik saya untuk menggali aturan-aturan yang ada mengenai pembayaran bunga tersebut.

1. TAX TREATY

Pertama akan kita coba lihat aturan di Tax Treaty (P3B) antara Indonesia dengan belanda dalam Pasal 11 tentang Bunga, yang mengatur antara lain :
a. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa "Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya."
b. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa "Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10%".
c. Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa "Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan".
d. Pasal 11 ayat (5) menyatakan bahwa "Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuanbersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3 dan 4."

Dari hal diatas dapat dijelaskan dengan diagram dibawah ini dengan kondisi perusahaan di Indonesia yang membayar bunga ke perusahaan di Belanda.





2. SE-17/PJ./2005

Kemudian dalam aturan SE-17/PJ./2005 dijelaskan lagi , yaitu :
1. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tatacara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.
2. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.

Dengan kata lain dalam aturan SE-17/PJ./2005 ini semua pembayaran bunga ke Belanda harus dipotong PPh Pasal 26, baik dengan tarif 10% ataupun 20%.

3. SE-04/PJ.34/2005

Kemudian yang menjadi masalah berikutnya adalah definisi pemilik manfaat, apa sih yang dimaksud dengan pemilik manfaat ini, karena dengan menentukan siapa pemilik manfaat dari bunga yang dibayarkan tersebut, akan berpengaruh terhadap besarnya tarif yang akan dikenakan, jika sipemilik manfaat adalah perusahaan Belanda, maka akan dikenakan tarif 10%, sedangkan jika si pemilik manfaat bukan perusahaan Belanda maka akan dikenakan tarif 20%.

Untuk itu kita melihat aturan di SE-04/PJ.34/2005, yang antara lain menjelaskan bahwa:
1. Wajib Pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut adalah "beneficial owner" dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang berkenaan. Hal ini untuk menjelaskan adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran PajakBerganda (P3B) yang paripurna dengan Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif, tapi dengan aturan ini ditegaskan bahwa tidak cukup hanya dengan Surat keterangan Domisili saja.
2. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
3. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas.
4. Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksuddalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.

Nah, sampai disini perdebatan masih akan terus berlanjut, karena definisi pemilik yang sebenarnya juga masih perlu penjelasan lagi, misalnya yang menerima bunga tersebut adalah perusahaan di Belanda, akan tetapi pada hari yang sama perusahaan di Belanda tersebut juga akan mentransfer dengan jumlah yang sama ke perusahaan lain di luar Belanda, siapa pemilik sebenarnya dari bunga tersebut ?

Untuk menjelaskan definisi pemilik yang sebenarnya ini saya akan mengutip dari tulisan Rachmanto Surahmat di koran Bisnis Indonesia / Senin, 29 Agustus & 05 September 2005 :

Vogel, dalam bukunya On Double Taxation Conventions, 1977, halaman 561-562, mengatakan treaty benefits seharusnya tidak diberikan kepada orang atau badan yang secara formal berhak atas dividen, royalty dan bunga, melainkan kepada orang atau badan yang menjadi pemegang "real" title. Dalam hal ini maka harus diterapkan prinsip "substance over form". Masalah "substance" atas hak untuk menerima suatu penghasilan mengandung dua aspek, yaitu:
hak untuk menentukan apakah hasil tersebut direalisasikan atau tidak, yang dalam hal ini menyangkut apakah kekayaan atau aktiva dimaksud akan digunakan atau disediakan untuk digunakan, hak untuk menggunakan hasil dimaksud.

Jadi dapat dikatakan "beneficial owner", menurut Vogel, adalah, mereka yang bebas untuk menentukan: apakah kekayaan atau aktiva lainnya harus digunakan atau disediakan untuk digunakan oleh orang lain; atau bagaimana hasil dari kekayaan tersebut akan digunakan; atau ke dua hal yang disebutkan di muka.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Vogel melihat masalah "control" merupakan faktor utama untuk menentukan "beneficial owner".

Jadi kalau melihat dari penjelasan menurut Vogel, maka dari masalah pembayaran bunga ke Belanda diatas, jika kontrol untuk menggunakan bunga tersebut dipegang oleh perusahaan Belanda tanpa dapat diatur atau diperintah oleh perusahaan lain, maka perusahaan di Belanda tersebut dapat dikatakan sebagai Beneficial Owner, tapi berlaku sebaliknya, jika perusahaan di Belanda tersebut tidak punya kontrol atas bunga yang diterimanya (misalkan pada hari yabg sama sudah harus ditransfer ke perusahaan lain), maka perusahaan di Belanda tersebut bukan lah Beneficial Owner.

Read More......

Keuntungan Leasing

Tulisan ini coba untuk menjawab pertanyaan dari mas Ziryan, apakah nantinya mas ziryan tambah jelas atau tambah bingung saya juga kurang tahu...

Dibawah ini gambar perlakuan perpajakan bagi leasing :



Dari gambar tersebut dapat kita lihat beberapa keuntungan dan kerugian baik bagi lessor dan juga lesse. misalnya

Keuntungan Untuk Lessor Finance Lease :
- Ada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu sebesar 2,5%.
- Tidak ada potongan pajak PPh pasal 23 untuk Jasa yang diberikan.

Keuntungan untuk Lesse Finance Lease :
- Semua pembayaran atas imbalan jasa leasing dapat dijadikan sebagai biaya, yang dapat mengurangi penghasilan Kena Pajak.
- Tidak terhutang PPN

Keuntungan untuk Lessor Operating Lease :
- Dapat membebankan biaya penyusutan barang yang dipinjamkan.

Keuntungan untuk Lesse Operating Lease :
- Semua pembayaran atas imbalan jasa leasing dapat dijadikan sebagai biaya, yang dapat mengurangi penghasilan Kena Pajak.

Read More......

Working With Donors and Tax-Deductible Contributions

Tax deductions are an important reason that individuals donate objects & other property to museums. Without these deductions, many people would hesitate to donate items that are essential to our collections. Dealing with the parameters of these types of donations, however, can often be confusing, as most of us who work in museums aren’t tax experts. Below are a few general guidelines for working with tax-deductible donations of property to your organization. These are in no way absolute. Tax guidelines are always changing and just about every donation is different. Always consult a tax expert or lawyer with specific questions or problems.

Museums and their staff should not act as tax advisors to donors or potential donors. However, providing basic guidance and information to your donors about the possibilities of tax-deductible contributions to charitable organizations is a nice idea. The American Association of Museum’s Guide to Museum Giving, is a good example. Two IRS publications are also especially helpful in outlining the specifics of tax deductions: Charitable Contributions (Publication 526) and Determining the Value of Donated Property (Publication 561). Both are available on-line. Another valuable resource for those in the museum field is the book A Legal Primer on Managing Museum Collections by Marie Malaro. It contains an entire chapter on tax-deductible gifts to museums.

Tax deductions for property items are usually based on Fair Market Value (FMV). FMV is defined by the IRS as "the price that property would sell for on the open market." Factors that may influence FMV are:
1. The cost or selling price of the item,
2. Sales of comparable properties,
3. Replacement cost, and
4. Opinions of experts. 1

Donations to museum collections often rely upon the fourth choice, "opinions of experts", also called appraisals. A formal appraisal is necessary for items with a value over $5000.

You should never provide donors with an appraisal or appraised value of donated items. The following persons are specifically excluded from providing appraisals for a donated item or items:
1. The donor of the property or taxpayer claiming deduction
2. The donee of the property (i.e.- the museum)
3. A party to the transaction in which the donor acquired the property (with exceptions)
4. Any person employed by, married to, or related to any of the above
5. An appraiser who appraises regularly for any of the above and who does not perform a majority of their appraisals for other persons.

Museums, in general, should also not recommend a specific appraiser to a donor. It may give the appearance of favoritism and could involve your organization in legal trouble if the appraiser’s opinions or expertise is called into question. You can always direct donors to possible sources of qualified appraisers—such as professional organizations (i.e.- American Society of Appraisers or Appraiser Association of America) or even the phone book (in the Yellow Pages under "Appraisers"). Some museums have a list of appraisers to give to donors—but again, you want to be careful with these types of lists not to show favoritism.

There’s no set amount of time donated property must be kept by the museum, but quick disposal or sale of items may affect donor deductions. The IRS has up to three years to review these types of deductions. It may be prudent to notify donors within that period of time if their items have been sold or otherwise disposed of. Full FMV deductions are usually not available for property donated for immediate sale (i.e.- a donor gives a painting to a museum to sell at an auction). Do not accept property that you know you will be immediately sold unless that is what you and the donor have agreed upon.

In all donor transactions, never accept anything that you are uncomfortable with. Unfortunately, cases of overinflated appraisals & tax dodging are all too common. While it is ultimately the taxpayer’s responsibility to support their deductions, you do not want to get involved in legal tangles, especially with the IRS. Looking the other way when donors bend or break the law may make you culpable and could jeopardize your non-profit status.

Adopting basic donor policies and guidelines can help make everyone aware beforehand of your procedures and limitations regarding donations. A good source to consult about policy making is the AAM’s Guidelines for Museums on Developing and Managing Individual Donor Support (available on-line).

Read More......

BANDING

PENGERTIAN BANDING

Menurut pengertian yang tercantum pada Pasal 1 ayat (6) uu No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatau keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”

Dari pengertian tersebut bisa dijelaskan beberapa hal. Pertama, banding merupakan suatu proses tindakan hukum yang dapat ditempuh oleh WP atau Penanggung Pajak. Hal itu berarti bahwa upaya banding harus memenuhi kaidah hukum yang berlaku – hukum pajak – baik kaidah formal maupun kaidah material. Disini tersirat pula, bahwa banding hanya dapat diajukan oleh WP atau Penanggung Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat diwakilkan, kecuali dengan menunjuk Kuasa Hukum (yang memenuhi kriteria undang-undang) dengan Surat Kuasa Khusus. Kedua, upaya banding hanya dapat dilakukan atas suatu keputusan yang dapat diajukan banding (menurut UU Perpajakan). Secara umum, banding hanay dapat diajukan atas Keputusan Keberatan yang diterbitkan oleh fiskus yang masih mengandung sengketa antara WP dengan fiskus.

Beberapa hal pokok tersebut diatas cukup menunjukan hubungan erat antara proses banding dengan keberatan. Bahkan, lebih jauh lagi akan tampak kaitan antara proses banding dengan pemeriksaan. Sebab, bagaimanapun sengketa pajak yang diajukan bandingnya oleh WP timbul dari hasil pemeriksaan pajak oleh fiskus.




Gambar 1. Kronologi Pemeriksaan Pajak Sampai Proses Banding


KETENTUAN FORMAL PENGAJUAN BANDING

Ketentuan formal mengenai pelaksanaan banding diatur dalam ketentuan Pasal 27 UU KUP jo. UU Pengadilan Pajak, yang bisa diuraikan sebagai berikut :

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajibannya membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Memang ironis, jika Wp bersikeras tidak bersedia membayar – sebelum ada keputusan keberatan atau banding – maka tindakan penagihan pajak akan dilakukan oleh fiskus sampai pada tindakan surat paksa, sita dan lelang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, mengacu pada ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, WP dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak – ditujukan ke Pengadilan Pajak – yang dibarengi permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan Pajak.
4. Syarat Formal Pengajuan Banding
Syarat-syarat pengajuan banding ditetapkan dlam ketentuan Pasal 27 UU KUP dan diperjelas lagi dalam hukum acara banding yang tercantum pada Pasal 35 s/d 39 UU Pengadilan Pajak.
a. Banding kepada Pengadilan Pajak diajukan secara tertulis – dengan Surat Banding – dalam bahasa Indonesia.
b. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
c. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
d. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
e. Banding diajukan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
f. Surat Banding dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding.
g. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)
h. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku, sepanjang masih dalam jangka waktu yang ditetapkan.
5. Pencabutan Banding
Perlu diperhatikan, bahwa banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat diajukan kembali.


PROSES PELAKSANAAN BANDING

Prosedur dan Tata Cara banding, termasuk batasan jangka waktunya, telah ditetapkan di dalam ketentuan UU Pengadilan Pajak. Lihat gambar 2 yang mengilustrasikan proses pelaksanaan banding, dimulai dari terbitnya SKP sampai ke Putusan Banding.




Gambar 2. Proses dan Jangka Waktu Pelaksanaan Banding ke Pengadilan Pajak

Keterangan :
- Gambar diatas hanya menjelaskan proses banding yang memenuhi ketentuan formal
- Jangka waktu yang tercantum dalam gambar ini adalah jangka waktu maksimal (paling lambat)
- PP = Pengadilan Pajak
- WP = Wajib Pajak Pemohon Banding
- Terbanding = Fiskus (pejabat berwenang yang mewakili Dirjen Pajak)
- SUB = Surat Uraian Banding

Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Pengadilan Pajak telah ditegaskan, bahwa Pengadilan Pajak tetap akan melanjutkan pemeriksaan banding meskipun fiskus tidak menyerahkan Surat Uraian banding (SUB) atau Surat Tanggapan dan WP Pemohon Banding tidak menyampaikan Surat Bantahan. Hal itu bisa diartikan, pembuatan SUB oleh fiskus maupun Surat Bantahan oleh WP bukan merupakan suatu keharusan. Namun, baik SUB maupun Surat Bantahan sebenarnya sangat penting. Sebab, keduanya bisa menjadi saran untuk saling menyampaikan pendapat, argumen, dan bukti-bukti dari masing-masing pihak yang bersengketa. Secara tidak langsung hal itu dapat membentuk opinni yang benar di mata Majelis atau Hakim Pengadilan Pajak yang menangani sengketa.

Read More......

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN PERMOHONAN DI KANTOR PAJAK

Seringkali orang enggan berurusan dengan Kantor Pajak dikarenakan tidak jelasnya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus suatu hal, biaya ini dapat berupa uang maupun waktu yang diperlukan untuk pengurusan hal tersebut. Nah, sekarang Direktorat Pajak mencoba untuk memberikan kepastian kepada Wajib Pajak untuk melakukan pengurusan hal-hal yang berkaitan dengan pajak dengan memberikan jangka waktu yang jelas dalam pengurusannya.

Jangka waktu penyelesaian yang baru ini mulai berlaku terhadap permohonan Wajib Pajak yang disampaikan pada tanggal 1 Agustus 2007, dan kalau kita lihat lebih cepat dari jangka waktu yang sebelumnya ditentukan oleh Direktorat Pajak, yang artinya sangat mengakomodasi keperluan masyarakat, tapi kembali permasalahannya adalah apakah aturan tersebut dapat diterapkan di lapangan, dan jika tidak, maka apa ada sanksi bagi pegawai pajak yang tidak melaksanakannya.

Beberapa jangka waktu penyelesaian permohonan tersebut adalah sebagai berikut :

NO Jenis Permohonan Jangka Waktu Penyelesaian
1 Permohonan Pendaftaran NPWP 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap
2 Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap
3 Permohonan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai :
a dilakukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang memiliki resiko rendah 2 (dua) bulan sejak permohonan diterima lengkap
b dilakukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu selain yang memiliki resiko rendah 4 (empat) bulan sejak permohonan diterima lengkap
c PKP selain PKP dengan kriteria tertentu dan PKP yang melakukan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima lengkap
d PKP, termasuk PKP sebagaimana dimaksud huruf a, yang berdasarkan hasil pemeriksaan masa sebelumnya ternyata diketahui memiliki resiko tinggi 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima lengkap
4 Penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) 3 (tiga) minggu sejak SKPLB diterbitkan atau sejak permohonan diterima lengkap
5 Permohonan Keberatan Penetapan Pajak 9 (sembilan) bulan sejak permohonan diterima lengkap
6 Pemberian Ijin Prinsip Pembebasan PPh Ps. 22 Impor 3 (tiga) minggu sejak permohonan diterima lengkap
7 Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Ps. 22 Impor 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap
8 Permohonan Pengurangan PBB 2 (dua) bulan sejak permohonan diterima lengkap

Read More......

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Atas permintaan mas Anang, maka saya mencoba untuk merangkum UU PBB, dan menampilkan hal-hal apa saja yang secara umum harus diketahui. Semoga dapat membantu mas Anang.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan.

Bagaimanakah sifat pengenaan PBB?
Pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.


Apa yang dimaksud dengan Subjek Pajak ?
Orang atau Badan yang secara nyata :
1. mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau;
2. memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau;
3. memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau;
4. memperoleh manfaat atas bangunan.

Apa saja hak-hak Wajib Pajak dalam UU PBB?
1. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada setiap Kantor Pelayanan PBB, Kantor Penyuluhan Pajak, atau tempat lain yang ditunjuk;
2. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak;
3. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak;
4. Memperbaiki / mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain);
5. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP;
6. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah;
7. Memperoleh tanda terima SPPT;
8. Memperoleh Surat Tanda Terima Setoran (STTS) dan Tanda Terima Sementara (TTS);
9. Mengajukan keberatan dan pengurangan atas penetapan PBB.

Apa saja kewajiban-kewajiban Wajib Pajak dalam UU PBB?
1. Mendaftarkan Objek Pajak;
2. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap.
3. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat paling lambat 30 hari setelah formulir SPOP diterima.
4. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.

Apa yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)?
Surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang PBB

Apakah arti mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap?
Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sesuai dengan kolom-kolom /pertanyaan yang ada pada SPOP.
Lengkap, berarti terisi semua dan ditandatangani beserta lampirannya.

Apa saja objek yang tidak dikenakan (dikecualikan) PBB?
1. Yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang :
- ibadah,
- sosial,
- kesehatan,
- pendidikan, dan
- kebudayaan nasional,
- yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
2. Yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
3. Yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
4. Yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
5. Yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Bagaimana contoh penghitungan PBB?
Contoh :
1. Objek perumahan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh PNS, ABRI dan para pensiunan termasuk janda dan dudanya.
Luas Bumi 1.000 m2 dengan nilai jual Rp 840.000/m2
Nilai jual tanah tersebut termasuk kelas 17 dengan nilai jual Rp 802.000/m2
Luas Bangunan 400 m2 dengan nilai jual Rp 1.000.000/m2.
Nilai jual bangunan tersebut termasuk kelas 2 dengan nilai jual Rp 968.000/m2
Penghitungan PBB-nya :
Jumlah NJOP bumi 1.000 x Rp802.000 = Rp 802.000.000
Jumlah NJOP Bangunan 400 x Rp968.000 = Rp 387.200.000
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp1.189.200.000
NJOPTKP = Rp 8.000.000
NJOP untuk penghitungan PBB = Rp1.181.200.000
NJKP 40% x Rp1.181.200.000 = Rp 472.480.000
PBB yang terutang : 0,5% x Rp 472.480.000 = Rp 2.362.400

2. Apabila Objek Pajak pada contoh 1 diatas dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh PNS, ABRI, Pensiunan termasuk janda/dudanya yang berpenghasilan semata-mata dari gaji atau uang pensiun maka penghitungannya adalah :
NJKP 20% x Rp1.181.200.000 = Rp 236.240.000
PBB yang terutang : 0,5% x Rp 236.240.000 = Rp 1.181.200


3. Objek perumahan lainnya dan non perumahan
Luas Bumi 300 m2 dengan nilai jual Rp 75.000/m2
Nilai jual bumi tersebut termasuk kelas 30 dengan nilai jual Rp 82.000/m2
Luas Bangunan 150 m2 dengan nilai jual Rp 260.000,-/m2
Nilai jual bangunan tersebut termasuk kelas 10 dengan nilai jual Rp 264.000,- /m2
Penghitungan PBB-nya :
Jumlah NJOP bumi 300 x Rp 82.000 = Rp 24.600.000
Jumlah NJOP Bangunan 150 x Rp 264.000 = Rp 39.600.000
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp 64.200.000
NJOPTKP = Rp 8.000.000
NJOP untuk penghitungan PBB = Rp 56.200.000
NJKP 20% x Rp56.200.000 = Rp 11.240.000
PBB yang terutang : 0,5% x Rp11.240.000 = Rp 56.200

Read More......

LEASING

Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.

b. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya :
- 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I,
- 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III,
- 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan.
c. Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.
b. Perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa-guna-usaha dapat dilaksanakan sebagai berikut :
a. Sewa-guna-usaha Langsung (Direct Lease).
Dalam transaksi ini lessee belum pernah memiliki barang modal yang menjadi obyek sewa-guna-usaha, sehingga atas permintaannya lessor membeli barang modal tersebut.
b. Penjualan dan Penyewaan Kembali (Sale and Lease Back).
Dalam transaksi ini lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa-guna-usaha antara lessee (pemilik semula) dengan lessor (pembeli barang modal tersebut).

Sewa-Guna-Usaha Sindikasi (Syndicated Lease)
Yaitu beberapa perusahaan sewa-guna-usaha secara bersama melakukan transaksi sewa-guna-usaha dengan satu lessee. Dalam hal ini salah satu perusahaan sewa-guna-usaha akan bertindak sebagai koordinator, sehingga lessee cukup berkomunikasi dengan koordinator ini.


Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha. Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.
Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat dalam perjanjian sewa-guna-usaha. Plakat atau etiket ini harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha. Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-usaha.

Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor.
Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada pihak lain, kecuali Lessee yang memang bergerak di bidang usaha persewaan.
Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa-guna-usaha.
Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha. Dalam hal lessee menggunakan hak opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal. Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usaha.



PERLAKUAN PERPAJAKAN

1. Finance Lease
a. Perlakuan Pajak bagi Lessor
- Penghasilan lessor yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran finance lease yaitu berupa imbalan jasa leasing dikurangi dengan angsuran pokok. Dalam hal sewa-guna-usaha sindikasi, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai dengan perjanjian antar anggota sindikasi yang bersangkutan.
- Lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang di leasing.
- Dalam hal masa leasing lebih pendek dari masa yang telah ditentukan, DJP melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor.
- Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang finance lease.
- Kerugian yang diderita karena piutang leasing yang nyata-nyta tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
- Dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud, maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.
- Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan adalah jumlah PPh terutang berdasarkan Laporan Keuangan Triwulanan terakhir yang disetahunkan, dibagi dua belas. Dalam hal lessor juga melaksanakan kegiatan operating lease, maka laporan keuangan triwulanan dimaksud adalah laporan keuangan triwulanan gabungan.



b. Perlakuan Pajak bagi Lessee
- selama masa leasing, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli.
- Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.
- Pembayaran leasing oleh lessee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi leasing tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal masa leasing lebih pendek dari masa yang telah ditentukan, DJP melakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing.
- Dalam hal terjadi transaksi sale and lease back, harus diperlakukan sebagai 2 (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa-guna-usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa.
- Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran leasing.
- Atas penyerahan jasa ini dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

2. Operating Lease
a. Perlakuan Pajak bagi Lessor
- seluruh pembayaran operating lease yang diterima lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
- Lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang di leasing tersebut.
- Lessor tidak diperkenankan membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu.

b. Perlakuan Pajak bagi Lessee
- pembayaran operating lease yang dibayar oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
- Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing.
- Lessee wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran operating lease yang dibayarkan kepada lessor.
- Atas penyerahan jasa ini terhutang Pajak Pertambahan Nilai.

Read More......

Menkeu akan kejar WP sampai ke liang kubur

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sesumbar tidak akan memberi ampun kepada petugas pajak (fiskus) dan wajib pajak (WP) yang ketahuan melakukan kolusi yang merugikan negara. Dia akan mengejarnya sampai ke liang kubur.
"Kalau begitu kasusnya, saya akan hajar dua-duanya. Karena yang Anda rampok baik oleh wajib pajak maupun aparat adalah republik ini. Saya akan kejar sampai di manapun. Saya kejar wajib pajak yang seperti itu sampai ke liang kubur."
Pernyataan itu disampaikan Menkeu saat meresmikan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KPKP) Bandung Karees dan Sumedang, di Bandung, kemarin.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga meminta agar WP yang diperlakukan tidak adil oleh fiskus segera melaporkan kepada kantor pelayanan pajak. "Jangan hanya bisa mengeluh, tapi tak bisa menunjuk," katanya menyindir.

Menkeu lantas mengutip kisah yang diceritakan seorang karyawan Depkeu di Bandung. Suatu ketika saat akan mencari tempat makan di Bandung, Sri Mulyani dan karyawan itu melewati sebuah rumah besar dengan banyak anjing dan satpam.
Aparat pajak juga tidak berani masuk karena anjingnya sangat banyak.
"Tolong bagi Anda yang mempunyai anjing dan Satpam banyak, saya akan ketok kalian di sini agar membayar pajak. Malu, Anda punya anjing dan Satpam banyak, tapi tidak bayar pajak. Saya yakin masih banyak yang belum bayar pajak," cetusnya.
Tidak beda
Menkeu juga menegaskan tidak ada perbedaan data penerimaan pajak antara Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Pajak. Sebab, administrasi data Depkeu sudah ditempatkan pada satu sumber, yakni Modul Penerimaan Negara (MPN).
"Jadi, pada dasarnya satu sumber. Tapi wartawan sepertinya senang bikin cerita seolah-olah penerimaan pajak banyak datanya."
Penerimaan Ditjen Pajak hingga 7 Agustus 2007, berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan tercatat Rp189,3 triliun sementara Ditjen Pajak mengklaim sudah mencapai Rp200,7 triliun (Bisnis, 27 Agustus).
"Ada beberapa bank persepsi, termasuk di Bandung ini, mengalami kesulitan teknis sehingga [data] yang di-enter bank persepsi dengan yang kemudian masuk dan diverifikasi kantor perbendaharaan sehingga terdapat perbedaan."
Ditjen Pajak, kata Menkeu, saat merilis data penerimaan pajak selalu mengacu data MPN yang selalu lamban satu-dua hari dibandingkan data penerimaan saat dipublikasikan.
"Misalnya Pak Darmin [Dirjen Pajak] akan ikut seminar tanggal 1, nah data yang diambil itu tanggal 29 [sehingga tidak aktual]. Di sisi lain, MPN ini juga tidak mencakup pajak valas dan pajak migas sehingga tidak lengkap," katanya.
Menkeu menginformasikan Depkeu sudah menemukan titik perbedaan tersebut, dan meminta semua pihak tidak memperkeruh keadaan.

Bisnis Indonesia

Read More......

UU KUP nyang baru

UU KUP yang baru telah diratifikasi oleh DPR, dimana UU tersebut akan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008. Banyak perubahan dan juga penambahan dalam UU yang baru tersebut, disini saya mencoba membahas beberapa perubahan yang mungkin menarik untuk didiskusikan.
1. Wanita kawin yang tidak pisah harta dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Selama ini Wanita kawin mengikuti NPWP suaminya, hal ini menjadi kendala jika wanita kawin tersebut adalah pejabat. Misalkan Pejabat Gubernur Banten yang adalah seorang wanita, maka dia tidak memiliki NPWP karena penghasilannya telah digabung dengan penghasilan suaminya dan NPWP nya adalah atas nama suaminya, sehingga jika ia ingin mengajak warganya untuk memasukkan SPT, maka mungkin saja warganya berkata lah wong gubernurnya aja gak masukin SPT kok. Nah dengan diperbolehkannya bu Atut memiliki NPWP sendiri terpisah dengan suaminya, maka ia dapat menunjukkan kepada warganya bahwa ia pun telah memasukkan SPT.

2. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Badan paling lambat 4 bulan sejak akhir tahun pajak. Selama ini jangka waktunya adalah 3 bulan, hal ini sering menjadi kendala bagi WP yang Laporan keuangannya di audit, diharapkan dengan memperpanjang batas waktu ini maka WP dapat memberikan laporan keuangan audited tepat waktu.
3. Denda keterlambatan menyampaikan SPT :
- SPT Tahunan PPh Orang pribadi Rp. 100.000,00
- SPT Tahunan PPh Badan Rp. 1.000.000,00
- SPT Masa PPN Rp. 500.000,00
- SPT Masa Lainnya Rp. 100.000,00
di UU yang lama besarnya denda adalah sebagai berikut :
- SPT Masa Rp. 50.000,00
- SPT Tahunan Rp. 100.000,00
kenaikan terbesar adalah pada SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN.

4. Restitusi untuk turis asing. Dapat diberikan restitusi PPN atas pembelian Barang Kena Pajak oleh Orang Pribadi yang bukan subjek pajak, tapi hanya untuk pemberangkatan melalui pelabuhan udara. Jadi turis asing yang beli barang di Indonesia dan dikenakan PPN, maka ketika mereka akan kembali kenegaranya, dapat meminta pengembalian atas PPN yang dibayarkannya tersebut pada saat di bandara ketika mereka akan pulang ke negaranya.
5. Insentif bagi Direktorat Jenderal Pajak. DJP dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu yang ditetapkan melalui APBN. Orang pajak tambah banyak duitnya

Read More......

TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

Ada ungkapan mengatakan bahwa hanya ada 2 yang pasti di bumi ini, yaitu kematian dan pajak. Karena pajak merupakan sesuatu yang pasti, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita tetap harus membayar pajak. Sebab kalau tidak dibayar, negara mempunyai hak paksa untuk menagih pajak tersebut.

Karena pajak merupakan sesuatu yang pasti, maka alangkah baiknya kalau kita lebih mengetahui mengenai pajak tersebut, karena ada juga ungkapan lain yang menyatakan bahwa ‘tak kenal maka tak sayang’. Untuk itu, harus ada usaha dari kita untuk lebih mengenal pajak, agar dapat lebih menyayanginya.

Hal pertama yang harus kita ketahui dan yang akan dibahas disini adalah masalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apakah yang dimaksud dengan NPWP ini ? NPWP adalah Nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan

Kegunaan NPWP ini antara lain adalah :
a. Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak.
b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawas administrasi perpajakan.
c. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan, sehingga semua yang berhubungan dengan dokumen perpajakan harus mencantumkan NPWP.
d. Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan misalnya dalam Surat Setoran Pajak (SSP)
e. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang diajukan.
Misal :
- Dokumen Import (PPUD/ PIUD)
- Dokumen Eksport (PEB)
- Dan lain-lain.
- Untuk keperluan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) masa atau tahunan.

Siapa saja yang wajib mendaftarkan diri dan mendapat NPWP ini ? Yang wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak antara lain adalah Wajib Pajak Perseorangan tetapi yang penghasilannya telah melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan juga Wajib Pajak yang berbadan hukum.

Kemudian dimana tempat untuk mendaftarkan dan mendapatkan NPWP ini ? Bagi Wajib Pajak Umum tempat pendaftarannya adalah di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tampat tinggal (Orang pribadi), tempat kedudukan (badan hukum) atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang bersangkutan. Jika tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada pada 2 atau lebih Wilayah kerja kantor Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.

Cara daftarnya adalah sebagai berikut :
1. Wajib Pajak mengisi Formulir Pendaftaran Wajib Pajak. Formulir ini bisa didapat di KPP setempat.
2. Wajib Pajak menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak beserta lampiran yang ditentukan ke KPP.
3. KPP menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan Kartu NPWP untuk Wajib Pajak tersebut.

Lampiran apa saja yang diperlukan untuk mendaftarkan diri tersebut ?
Bagi Wajib Pajak orang pribadi hanya diperlukan Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, sedangkan bagi WP yang berbadan hukum diperlukan lampiran antara lain :
1. Fotokopi Akte Pendirian dan Perubahan terakhir.
2. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Kartu Keluarga atau paspor ditambah Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa, dari salah seorang pengurus aktif.
3. Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa.

NPWP juga dapat dihapuskan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu terlebih dulu. Apa saja syarat agar NPWP dapat dihapuskan dijelaskan di bawah ini :
1. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan
2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
3. Warisan yang belum terbagi, dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak, sesudah selesai terbagi;
4. Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
5. Bentuk Usaha Tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap;
6. Wajib Pajak orang pribadi lainnya yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak yaitu berdasarkan laporan Pemeriksaan Lapangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

Demikianlah tulisan ini kami buat semoga dapat lebih mengenalkan kita kepada masalah perpajakan, dan diharapkan juga kita akan lebih menyayanginya lagi . Amin

Read More......

KENIKMATAN YANG DIBEBANKAN PADA BIAYA OPERASI OLEH KONTRAKTOR KONTRAK BAGI HASIL (KBH) DI BIDANG MIGAS

Permasalahan
Bagaimana perlakuan perpajakan sehubungan dengan masalah pembebanan imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan ke dalam biaya operasi (Recovery Cost) yang dilakukan oleh kontraktor Kontrak Bagi Hasil (KBH) di bidang migas ?

Dasar Hukum
1. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf d jo. Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Pemerintah atau Wajib Pajak tidak termasuk sebagai objek Pajak bagi yang menerima atau memperolehnya dan tidak boleh dikurangkan sebagai biaya bagi yang memberikan kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu di daerah terpencil yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 jo. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985, pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya oleh kontraktor Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 bagi perusahaan diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya, sedang bagi pihak yang menerima atau memperoleh merupakan penghasilan yang dikenakan PPh.

KesimpulanBerdasarkan uraian pada butir 1 dan 2 tersebut di atas, perlakuan PPh atas imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan adalah :
1. Untuk kontraktor KBH yang ditandatangani sebelum berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, maka pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai biaya, dan harus dihitung sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi karyawan yang menerimanya.
2. Untuk kontraktor KBH yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 adalah :
a. pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan yang menerimanya.
b. dalam hal pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut ternyata telah dibebankan sebagai biaya operasi oleh KBH-XYZ, maka pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut harus dihitung sebagai penghasilan bagi karyawan yang menerimanya dan harus dipotong dan disetor Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh Pasal 26 huruf d yang terutang.
3. Untuk kontraktor KBH yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya hanya dapat dibebankan sebagai biaya dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan yang menerimanya apabila pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut dilakukan di daerah terpencil yang telah memperoleh persetujuan Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 633/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-29/PJ.4/1995 tanggal 5 Juni 1995.
4. Ketentuan 1 dan 2 berlaku terhadap semua kontraktor KBH yang kontraknya ditandatangani sebelum 1 Januari 1995 baik yang belum maupun yang telah berproduksi.

Read More......