hormat grraakk..

hormat grraakk..
Google
 

Soal & Jawaban Brevet A

Jawaban Soal Brevet A -1 klik disini

Jawaban Soal Brevet A -2 klik disini

Jawaban soal Brevet A -3 Klik disini

Read More......

BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

Ini merupakan kemenangan dari Industri Rokok dan Industri Farmasi, kenapa dikatakan demikian, karena dengan aturan yang lama sangat membatasi ruang gerak kedua industry tersebut untuk mencatatkan biaya promosi sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto, tapi dengan aturan yg baru tidak ada larangan spesifik untuk kedua industry tersebut, atau dengan kata lain perlakuan perpajakan untuk biaya promosi tidak dibedakan lagi untuk semua industry.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor : PMK-104/PMK.03/2009, jelas disebutkan bahwa untuk kedua industry diatas biaya promosi hanya dapat dibiayakan oleh Produsen / Distributor Utama (hanya salah satu) dan importer tunggal, dan besaranya juga dibatasi,misal : untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha sampai dengan lima ratus miliar rupiah, besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari peredaran usaha dan paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Tapi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor : PMK-02/PMK.03/2010, maka tidak ada lagi pembatasan untuk kedua industry tersebut diatas.


PEMBAHASAN
Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah :
1. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
2. biaya pameran produk;
3. biaya pengenalan produk baru; dan/atau
4. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Tidak termasuk Biaya Promosi adalah :
1. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
2. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.

Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif yang paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong, dan dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan.

Pada saat pengisian Lampiran Peraturan Menteri mengenai Daftar Nominatif perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :


Bentuk Laporan Daftar Nominatif




Read More......

PENGHAPUSAN PIUTANG

Wajib pajak dapat menghapuskan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak, tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.

Syarat agar Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya adalah :
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut dalam bentuk hard copy dan/atau soft copy kepada Direktorat Jenderal Pajak;dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
d. Syarat huruf c diatas tidak berlaku untuk penghapusan piutang kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
1. Definisi Piutang kepada Debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi

2. Piutang debitur kecil lainnya adalah piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).


Tata cara pengajuan Daftar Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih agar piutang tersebut dapat dibebankan sebagai biaya :
1. Diajukan kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar;
2. Diajukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh tahun pajak yang bersangkutan (sebagai lampiran);
Memuat data dan informasi debitur, yaitu:
a. nama,
b. alamat,
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
d. jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
3. Dilampiri fotokopi bukti penyerahan perkara penagihan ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang telah dilegalisir Notaris, dan fotokopi bukti pengumuman dalam penerbitan umum dan khusus.

Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya Yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada :
1. penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan Bank-Bank Umum Nasional (PERBANAS)
2. penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau
3. penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya.

Read More......

EKSPOR JASA KENA PAJAK

Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa kena pajak ke luar daerah pabean.
Jenis jasa Kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN adalah :
1. Jasa maklon.
Jasa maklon adalah jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Batasan Jasa maklon yang termasuk Ekspor JKP :
a. Pemesan atau penerima JKP berada di luar daerah pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap.
b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP.
c. Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan.
d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan
e. Pengusaha Jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar Daerah Pabean.
Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon, tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN.

2. Jasa perbaikan dan perawatan
Batasannya :
a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

3. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Batasannya :
a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Besarnya PPN adalah Tarif X DPP
a. Tarifnya adalah 0%
b. DPP nya adalah Penggantian.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena ekspor JKP, tetapi tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Saat terutangnya PPN adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.

PKP yang melakukan Ekspor JKP wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak. Pemberitahuan Ekspor JKP yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Read More......

PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26

Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan :
a. pegawai;
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

c. bukan pegawai
Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Antara lain meliputi :
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

d. peserta kegiatan
Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
antara lain meliputi :
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang
5. peserta kegiatan lainnya.


Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.




Read More......

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi :
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar :
i) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
ii) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
iii) honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor perwakilan Negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.




ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 215/PMK.03/2008
I. Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa:
1. ADB (Asian Development Bank)
2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
3. IFC (International Finance Corporation)
4. IMF (International Monetary Fund)
5. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
6. FAO (Food and Agricultural Organization)
7. ILO (International Labour Organization)
8. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
9. UNIC (United Nations Information Centre)
10. UNICEF (United Nations Children's Fund)
11. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
12. WHO (World Health Organization)
13. World Bank
II. Kerjasama Teknik:
1. Kerjasama Teknik Australia - Republik Indonesia (Australia-Indonesia Partnership)
2. Kerjasama Teknik Canada - Republik Indonesia
3. Kerjasama Teknik India - Republik Indonesia
4. Kerjasama Teknik Inggris - Republik Indonesia
5. Kerjasama Teknik Jepang - Republik Indonesia
6. Kerjasama Teknik New Zealand - Republik Indonesia
7. Kerjasama Teknik Negeri Belanda - Republik Indonesia
8. Kerjasama Teknik Rusia - Republik Indonesia
9. Kerjasama Teknik Jerman - Republik Indonesia
10. Kerjasama Teknik Perancis - Republik Indonesia
11. Kerjasama Teknik Negeri Polandia - Republik Indonesia
12. Kerjasama Teknik Amerika Serikat - Republik Indonesia (USAID: United States Agency for International Development)
13. Kerjasama Teknik Swiss - Republik Indonesia
14. Kerjasama Teknik Italia - Republik Indonesia
15. Kerjasama Teknik Belgia - Republik Indonesia
16. Kerjasama Teknik Denmark - Republik Indonesia
17. Kerjasama Teknik Korea - Republik Indonesia
18. Kerjasama Teknik Finlandia - Republik Indonesia
19. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Malaysia - Republik Indonesia
20. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Singapura - Republik Indonesia
21. Kerjasama Ekonomi, Perdagangan dan Teknik RRC - Republik Indonesia
22. Kerjasama Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknik Vietnam - Republik Indonesia
23. Kerjasama Ekonomi dan Teknik Thailand - Republik Indonesia
24. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik Meksiko - Republik Indonesia
25. Kerjasama Teknik Kerajaan Arab Saudi - Republik Indonesia
26. Kerjasama Teknik Iran - Republik Indonesia
27. Kerjasama Teknik Pakistan - Republik Indonesia
28. Kerjasama Teknik Philippine - Republik Indonesia
III. Kerjasama Kebudayaan :
1. Kerjasama Kebudayaan Belanda - Republik Indonesia
2. Kerjasama Kebudayaan Jepang - Republik Indonesia
3. Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA - Republik Indonesia
4. Kerjasama Kebudayaan Austria - Republik Indonesia
IV. Organisasi -Organisasi Internasional Lainnya :
1. Asean Secretariat
2. SEAMEO (South Bast Asian Minister of Education Organization)
3. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
4. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
5. FPP Int. (Foster Parents Plan Int.)
6. PCI (Project Concern International)
7. IDRC (The International Development Research Centre)
8. Kerjasama Teknik Di bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA-Republik Indonesia
9. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
10. The Commission of The European Communities
11. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)
12. World Relief Cooperation
13. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
14. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
15. IPC (The International Pepper Community)
16. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
17. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
18. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
19. CIP (The International Potato Centre)
20. ICRC (The International Committee of Red Cross)
21. Terre Des Hommes Netherlands
22. Wetlands International
23. HKI (Helen Keller International, Inc.)
24. Taipei Economic and Trade Office
25. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgic
26. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
27. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
28. Save the Children-US dan Save the Children-UK
29. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
30. Islamic Development Bank
31. Kyoto University- Jepang
32. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
33. Swisscontact - Swiss Foundation for Technical Cooperation
34. Winrock International
35. Stichting Tropenbos
36. The Moslem World League (Rabithah)
37. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
38. HSF (Hans Seidel Foundation)
39. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
40. WCS (The Wildlife Conservation Society)
41. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
42. ASEAN Foundation
43. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
44. IMC (International Medical Corps)
45. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
46. Asia Foundation
47. The British Council
48. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
49. CCF (Christian Children's Fund)
50. CRS (Catholic Relief Service)
51. CWS (Church World Service)
52. The Ford Foundation
53. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
54. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
55. IRRI (International Rice Research Institute)
56. Leprosy Mission
57. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
58. WE (World Education, Incorporated, USA)
59. JICA (Japan International Cooperations Agency)
60. JBIC (Japan Bank for International Cooperation)
61. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
62. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)





Read More......

PPN TURIS

Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali harus memenuhi syarat:
a. Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean. Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan, kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok WajibPajak.

Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Bandar Udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah :
a. Paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak.



Read More......

Ekspor BKP tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak

Ada beberapa hal baru di UU PPN No.42 tahun 2009, yang baru akan berlaku mulai 1 April 2010 nanti. Untuk sekarang akan coba kita ulas mengenai Ekspor BKP tidak Berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

Dengan berlakunya UU baru ini, maka atas ekspor BKP Tidak Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN, dengan tarif sebesar 0%. Sebelum kita bahas apa imbas atas dikenakannya PPN pada kedua transaksi tersebut, coba kita bahas dulu pengertian dari kedua transaksi diatas.

Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.

Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah :
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasitersebut pada angka 3, berupa :
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radion komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuksiaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.


Dengan pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, imbasnya adalah setiap PKP yang melakukan ekspor tersebut wajib untuk membuat Faktur Pajak, dan Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Artinya akan sangat besar kemungkinan WP yang bergerak dalam bidang ini akan selalu mengajukan restitusi.

Nah disinilah akan mulai muncul masalah, bagaimana membuktikan kebenaran ekspor BKP tidak berwujud atau ekspor JKP yang dilaporkan oleh WP ?
Karena untuk ekspor BKP berwujud maka WP harus membuat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) terlebih dulu, sehingga masih bisa diteliti laporannya, sedangkan untuk Ekspor BKP tidak berwujud dan Ekspor JKP belum ada aturan bagaimana pelaporan atas ekspornya tersebut.

Misalkan Tn. Febner memiliki hak dibidang kesusateraan, dan dia meminta restitusi ke Kantor Pajak, karena telah mengekspor hak tersebut ke LN. Bagaimana pihak pajak membuktikan kebenaran laporan Tn. Febner tersebut ? dokumen apa yang wajib dilampirkan oleh Tn. Febner dalam pengajuan restitusi tersebut ?
Mungkin akan dibuat aturan pelaksananya untuk mengatasi masalah ini



Read More......

PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI

Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
1. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.

2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
3. Dalam hal bukan pegawai adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
4. Dalam hal bukan pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.






CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
1 CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
a. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik

dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut:

Bulan Jasa Dokter yang dibayar Pasien
(Rupiah)
Januari 45,000,000.00
Februari 49,000,000.00
Maret 47,000,000.00
April 40,000,000.00
Mei 44,000,000.00
Juni 52,000,000.00
Juli 40,000,000.00
Agustus 35,000,000.00
September 45,000,000.00
Oktober 44,000,000.00
November 43,000,000.00
Desember 40,000,000.00
Jumlah 524,000,000.00


Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2009:


Bulan Jasa Doketr
yang dibayar
Pasien

(Rupiah) Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21

(Rupiah) Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah) Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh PPh
Pasal 21
terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3)=50% x (2) (4) (5) (6)=(3) x (5)
Januari 45,000,000 22,500,000 22,500,000 5% 1,125,000
Februari 49,000,000 24,500,000 47,000,000 5% 1,225,000

Maret
47,000,000 3,000,000
-----------------
20,500,000 50,000,000
-----------------
70,500,000 5%
---------
15% 150,000
-------------
3,075,000
April 40,000,000 20,000,000 90,500,000 15% 3,000,000
Mei 44,000,000 22,000,000 112,500,000 15% 3,300,000
Juni 52,000,000 26,000,000 138,500,000 15% 3,900,000
Juli 40,000,000 20,000,000 158,500,000 15% 3,000,000
Agustus 35,000,000 17,500,000 176,000,000 15% 2,625,000
September 45,000,000 22,500,000 198,500,000 15% 3,375,000
Oktober 44,000,000 22,000,000 220,500,000 15% 3,300,000
November 43,000,000 21,500,000 242,000,000 15% 3,225,000
Desember
40,000,000 8,000,000
-----------------
12,000,000 250,000,000
-----------------
262,000,000 15%
---------
25% 1,200,000
---------------
3,000,000
Jumlah 524,000,000 262,000,000 35,500,000

Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
b. Contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)

Neneng Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru Life. Suami Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Kersamanah. Neneng Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Tabarru Life. Pada tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru Life adalah sebagai berikut:
Bulan Komisi agen
(Rupiah)
Januari 38.000.000,00
Februari 38.000.000,00
Maret 41.000.000,00
April 42.000.000,00
Mei 44.000.000,00
Juni 45.000.000,00
Juli 45.000.000,00
Agustus 48.000.000,00
September 50.000.000,00
Oktober 52.000.000,00
November 55.000.000,00
Desember 56.000.000,00
Jumlah 554.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2009 adalah:


Bulan Penghasilan

Bruto

(Rupiah) 50% dari

Penghasilan

Bruto PTKP



(Rupiah) Penghasilan

Kena Pajak

(Rupiah) Penghasilan
Kena Pajak
Kumulatif

(Rupiah) Tarif
Pasal 17
ayat (1)
Huruf a
UU PPh PPh
Pasal 21
terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3)=50%x(2) (4) (5) (6) (7) (8)=(4)x(6)
Januari 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 17.680.000 5% 884.000
Februari 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 35.360.000 5% 884.000

Maret
41.000.000
20.500.000
1.320.000 14.640.000
--------------
4.540.000 50.000.000
-------------
54.540.000 5%
-------
15% 732.000
----------------
681.000
April 42.000.000 21.000.000 1.320.000 19.680.000 74.220.000 15% 2.952.000
Mei 44.000.000 22.000.000 1.320.000 20.680.000 94.900.000 15% 3.102.000
Juni 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 116.080.000 15% 3.177.000
Juli 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 137.260.000 15% 3.177.000
Agustus 48.000.000 24.000.000 1.320.000 22.680.000 159.940.000 15% 3.402.000
September 50.000.000 25.000.000 1.320.000 23.680.000 183.620.000 15% 3.552.000
Oktober 52.000.000 26.000.000 1.320.000 24.680.000 208.300.000 15% 3.702.000
November 55.000.000 27.500.000 1.320.000 26.180.000 234.480.000 15% 3.927.000

Desember
56.000.000
28.000.000
1.320.000 15.520.000
--------------
11.160.000 250.000.000
--------------
261.160.000 15%
--------
25% 2.328.000
----------------
2.790.000
Jumlah 554.000.000 277.000.000 35.290.000

Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan berikut ini:


Bulan Penghasilan

Bruto

(Rupiah) Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21

(Rupiah) Dasar
Pemotongan
PPh Pasal21
Kumulatif
(Rupiah) Tarif
Pasal 17
ayat (1)
Huruf a
UU PPh Tarif tidak

memiliki

NPWP PPh Pasal 21

terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3)=50%x(2) (4) (5) (6) (7)=(3)x(5)x(7)
Januari 38.000.000 19.000.000 19.000.000 5% 120% 1.140.000
Februari 38.000.000 19.000.000 38.000.000 5% 120% 1.140.000

Maret
41.000.000 12.000.000
----------------
8.500.000 50.000.000
----------------
58.500.0000 5%
---------
5% 120%
-----------
120% 720.000
------------------
510.000
April 42.000.000 21.000.000 79.500.000 5% 120% 1.260.000
Mei 44.000.000 22.000.000 101.500.000 15% 120% 3.960.000
Juni 45.000.000 22.500.000 124.000.000 15% 120% 4.050.000
Juli 45.000.000 22.500.000 146.500.000 15% 120% 4.050.000
Agustus 48.000.000 24.000.000 170.500.000 15% 120% 4.320.000
September 50.000.000 25.000.000 195.500.000 15% 120% 4.500.000
Oktober 52.000.000 26.000.000 221.500.000 15% 120% 4.680.000
November 55.000.000 27.500.000 249.000.000 15% 120% 4.950.000

Desember
56.000.000 1.000.000
---------------
27.000.000 250.000.000
----------------
277.000.000 15%
---------
25% 120%
-----------
120% 180.000
------------------
8.100.000
Jumlah 554.000.000 277.000.000 43.560.000

Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP, tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.

2. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.

Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000,000,00.

Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00

Dalam hal Nashrun Barlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
5% x 120% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00
3. CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI, SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA MEMPEKERJAKAN ORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU MELAKUKAN PENYERAHAN MATERIAL/BAHAN

Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp 10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp 180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp 4.500.000,00. selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp 1.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
Rp 10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 112.500,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
5% x 120% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp135.000,00
b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar :
5% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp250.000,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
5% x 120% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 300.000,00
Catatan:
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.




Read More......

Aspek Perpajakan Kegiatan Hulu Migas

Berikut disajikan prinsip-prinsip perpajakan yang berlaku dalam kegiatan hulu migas ;

1. Ring Fence policy

Rinf Fence Policy adalah kebijakan yang membatasi hak dan kewajiban suatu kontraktor KKS di satu Wilayah Kerja Pertambangan (WKP, tidak bisa dikonsolidasikan ke WKP lainnya yang dimiliki oleh KKKS yang sama. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar KKKS yang dimiliki oleh satu perusahaan induk dan beroperasi di beberapa wilayah kerja tidak dapat melakukan konsolidasi biaya dari beberapa wilayah kerja tersebut, baik untuk tujuan cost recovery maupun untuk tujuan perhitungan PPh Badan (Tax Consolidation).
Sesuai dengan prinsip ini, maka setiap WKP harus diusahakan oleh satu entity, dan setiap entity, baik operator maupun silent partner, yang mempunyai penyertaan di suatu WKP, wajib memiliki NPWP sendiri. Dalm hal Wajib pajak mengelola beberapa WKP, maka WP tersebut harus membentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap WKP, dan wajib memiliki NPWP sendiri untuk tiap-tiap WKP.

2. Uniformity Principle

Yaitu cost of oil harus sama dengan cost of tax, artinya bahwa biaya-biaya operasi yang boleh dibebankan (Cost Recoverable) menurut KKKS harus sama dengan biaya-biaya yang boleh dibebankan menurut UU PPh (Tax Deductible). Dengan demikian penghasilan untuk kepentingan penghitungan KKKS sama dengan penghasilan untuk kepentingan penghitungan pajak. Azas ini mengharuskan penghitungan PPh yang terutang oleh KKKS mengikuti ketentuan yang tertuang dala UU PPh, sehingga terdapat keseragaman dengan WP Non Migas lainnya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

3. Kompensasi Kerugian
UU PPh menyatakan bahwa kerugian dalam satu tahun pajak dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Pembatasan jangka waktu kerugian yang dapat dikompensasikan tidak dikenal dalam bidang usaha hulu migas ini. Atas biaya operasi yang belum di recovery pada tahun-tahun sebelumnya, diizinkan untuk dilakukan pada setiap tahun berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

sumber : Modul Pemeriksaan Pajak Sektor Industri Pertambangan Migas

Read More......

SPT Tahunan kita lengkap atau gak sih ?

Udah masuk tahun baru lagi, kalo untuk urusan pajak berarti kita harus menyiapkan SPT Tahunan lagi. Yang sering jadi pertanyaan adalah apakah SPT yang sudah kita laporkan itu sudah lengkap atau belum ?

Coba kita bahas disini :
1. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan/e-SPT Tahunan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan cara SPT dimasukkan ke dalam amplop tertutup yang telah ditulis dengan :
a. Nama Wajib Pajak
b. NPWP
c. Tahun Pajak
d. Status SPT (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar)
e. Nomor Telepon yang dapat dihubungi
dan menyerahkannya kepada Petugas Penerima SPT di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) atau Pojok Pajak/Mobil Pajak/Drop Box.

2. Wajib pajak akan menerima bukti atas pelaporan SPT tersebut, tanpa diteliti dulu kelengkapannya oleh KPP

3. Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah SPT dilaporkan, maka terhadap Wajib Pajak yang SPT nya kurang lengkap, akan dikirimkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan/e-SPT Tahunan.

4. Atas permintaan kelengkapan SPT tersebut, paling lambat 30 hari sejak tanggal Surat Permintaan Kelengkapan SPT, Wajib Pajak wajib menyampaikan kelengkapan SPT Tahunan/e-SPT Tahunan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar.

5. Apabila sampai batas waktu 30 hari sejak tanggal Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan/e-SPT Tahunan telah terlampaui dan Wajib Pajak belum menyampaikan kelengkapan SPT, maka SPT dianggap tidak disampaikan dan kepada Wajib Pajak dikirimkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa SPT Tahunan/e-SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan.

Jadi kalo SPT Tahunan kita tidak lengkap, dan tidak kita lengkapi sesuai dengan permintaan dari DJP, maka WP akan dianggap belum melaporkan SPT Tahunan.

SPT Tahunan/e-SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap apabila:
1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau nama Wajib Pajak tidak dicantumkan dalam SPT Induk dengan lengkap dan jelas;
2. SPT Induk tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya;
3. SPT Induk ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak tetapi tidak dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus atau SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditandatangani oleh ahli waris tetapi tidak dilampiri dengan Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang;
4. Terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap;
5. SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri dengan bukti pelunasan berupa SSP yang sesuai;
6. Lampiran "Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun dan Daftar Susunan Anggota Keluarga" dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
7. Lampiran "Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris" dalam SPT Tahunan PPh Badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
8. e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik, tetapi hanya menyampaikan SPT Induk hasil cetakan tanpa disertai media elektronik;
9. e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik, tetapi SPT Induk berdasarkan data digitalnya tidak sesuai dengan SPT Induk hasil cetakan yang disampaikan oleh Wajib Pajak;
10. Loading atas e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tidak dapat di-load pada aplikasi Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak;
11. e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tetapi elemen-elemen data digitalnya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap;
12. e-SPT yang data digitalnya disampaikan melalui e-filing tetapi elemen-elemen data digitalnya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap.




Read More......