hormat grraakk..

hormat grraakk..
Google
 

3,4 TRILIUN DUIT NEGARA HILANG...

"Laba bersih PT.Pertamina tahun 2007 terkoreksi Rp. 3,4 triliun sebagai konsekuensi biaya pemulihan yang dibebankan ke negara (cost recovery). Laba bersih Pertamina yang semula Rp. 24,4 triliun akan turun jadi Rp. 21 triliun."
Begitulah salah satu berita di koran Kompas tanggal 1 April 2008.
Apakah berita ini cuma April mop ? saya rasa tidak, memang begitulah besarnya beban yang harus ditanggung negara atas beban-beban yang dikeluarkan oleh Kontraktor pemegang kontrak dalam memproduksi Minyak di Indonesia.

besar gak sih 3,4 triliun itu bagi Indonesia ?
kalo dilihat dari penerimaan, berdasar APBN 2007, maka penerimaan dari Pajak Penghasilan Migas ditargetkan sebesar Rp. 41,2 triliun dan penerimaan SDA dari migas sebesar Rp. 139,8 triliun, memang cukup besar sih, tapi jika dibandingkan dengan pengeluaran, maka pengeluaran yang angkanya mendekati cost recovery adalah pengeluaran untuk Fungsi Perlindungan Sosial yang dianggarkan 'cuma' Rp. 3,2 triliun.
Pantesan tingkat perlindungan sosial kita semakin lama semakin menurun...

Read More......

Pajak Luar Negeri

Ada beberapa pertanyaan yang masuk, yang rata-rata menanyakan gimana perhitungan pajak dari penghasilan di luar negeri ? saya sih seneng aja, ini berarti menunjukkan semakin banyak warga negara ini yang diakui kemampuannya di luar negeri, untuk itu saya coba membahasnya, semoga berguna..

Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri dilakukan sebagai berikut:
1.Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan.

Contoh :
PT. A di Jakarta dalam tahun pajak 2001 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
a.Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp 800.000.000,00;
b.Dividen atas pemilikan saham pada "X Ltd." di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2000 dan baru dibayar dalam tahun 2001;
c.Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada "Y Corporation" di Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001; Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001
d.Bunga kwartal IV tahun 2001 sebesar Rp 100.000.000,00 dari "Z Sdn Bhd" di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Juli 2002.

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2002.

2.Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar negeri tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.

Contoh :
PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :
a.di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 1.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp. 400.000.000,00);
b.di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 3.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp. 750.000.000,00);
c.di negara Z, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000,00,
d.Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 4.000.000.000,00.

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1.Penghasilan Luar negeri :
a.laba di negara X = Rp. 1.000.000.000,00
b.laba di negara Y = Rp. 3.000.000.000,00
c.laba di negara Z = Rp. - - - - - - - - - - - - - (+)
d.Jumlah penghasilan luar negeri = Rp. 4.000.000.000,00

2.Penghasilan dalam negeri = Rp. 4.000.000.000,00

3.Jumlah penghasilan neto adalah :
Rp. 4.000.000.000,00 + Rp. 4.000.000.000,00 = Rp. 8.000.000.000,00

4.PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp. 2.382.500.000,00

5.Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
a. Untuk negara X = (Rp. 1.000.000.000 / Rp. 8.000.000.000)X Rp. 2.382.500.000 = Rp. 297.812.500
Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 400.000.000, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.297.812.500.

b. Untuk negara Y = (Rp. 3.000.000.000 / Rp. 8.000.000.000)X Rp. 2.382.500.000 = Rp. 893.437.500
Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 750.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.750.000.000.

Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah :
Rp.297.812.500 + Rp. 750.000.000 = Rp. 1.047.812.500

Dari contoh diatas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri ( di negara Z sebesar Rp. 2.500.000.000) tidak dikompensasikan.

3.Penghitungan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut :

Contoh :
a.PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp. 1.000.000.000
Penghasilan luar negeri
(dengan tarif pajak 20%) Rp. 1.000.000.000

Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1.Penghasilan luar negeri Rp.1.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp.1.000.000.000 (+)
Jumlah penghasilan neto Rp.2.000.000.000

2.Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.582.500.000

3.Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
(Rp. 1.000.000.000 / Rp. 2.000.000.000)X Rp. 582.500.000 = Rp. 291.250.000

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 291.250.000 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp. 200.000.000 maka jumlah kredit pajak luar negeri yang di perkenankan adalah sebesar Rp. 200.000.000.

b.PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :
Penghasilan dari usaha diluar negeri Rp.1.000.000.000,00
Rugi usaha di dalam negeri (Rp. 200.000.000,00)

Pajak atas Penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp.400.000.000
Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sebagai berikut :

1.Penghasilan usaha luar negeri Rp.1.000.000.000,00
Rugi usaha dalam negeri (Rp. 200.000.000,00)
Jumlah penghasilan neto Rp. 800.000.000,00

2.Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.222.500.000.

3.Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
(Rp. 1.000.000.000 / Rp. 800.000.000)X Rp. 222.500.000 = Rp. 278.125.000

Oleh karena pajak yang dibayar diluar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp.222.500.000.

4.Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan sebagai berikut:

Contoh :

PT C di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:

- Penghasilan dalam negeri = Rp. 2.000.000.000
- Penghasilan dari negara X = Rp. 1.000.000.000
(dengan tarif pajak 40%)
- Penghasilan dari negara Y = Rp. 2.000.000.000 (+)
(dengan tarif pajak 30%)
Jumlah penghasilan neto = Rp. 5.000.000.000

Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp.1.482.500.000.

Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah :

a.Untuk negara X = (Rp. 1.000.000.000 / Rp. 5.000.000.000)X Rp.1.482.500.000 = Rp. 296.500.000
Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.400.000.000 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp.296.500.000.

b.Untuk negara Y = (Rp. 2.000.000.000 / Rp. 5.000.000.000)X Rp.1.482.500.000 = Rp.593.000.000
Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.600.000.000 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp.593.000.000.

5.Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final, maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan penghasilan pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak.

Contoh :

PT "D" di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut:
1.Penghasilan dari Negara Z Rp.2.000.000.000
(dengan tarif pajak 30%)
2.Penghasilan Dalam Negeri Rp.3.500.000.000
(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan yg dikenakan pajak bersifat final sebesar Rp 500.000.000)
3.Penghasilan Kena Pajak PT "D" sebesar :
Rp. 2.000.000.000 + (Rp 3.500.000.000 - Rp. 500.000.000) =
Rp. 5.000.000.000
4.Sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar : Rp 1.482.500.000,-

5.Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
(Rp. 2.000.000.000 / Rp. 5.000.000.000)X Rp.1.482.500.000 = Rp.593.000.000

Pajak yang terutang di negara Z sebesar Rp 600.000.000, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp 593.000.000.

Read More......

Impor Sementara

Mo nanya: bbrp bulan ini, Klo ada kapal asing mlakukan pekerjaan d indonesia slm bbrp bulan, misal u masang kabel or pipa, mereka dikenakan pajak impor sebesar 2% dr nilai pasar kapal tsb. Ini sgt mberatkan mereka. Adakah penjelasan untuk ini? Gmana cara mdapatkan keringanan
Pertanyaan ini muncul dari bapak/ibu yg tidak mau disebutkan namanya, dan saya mencoba untuk membahasnya.

Ditanyakan apakah ada penjelasan untuk ini, kemungkinan dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 615/PMK.04/2004 tentang Tatalaksana Impor Sementara.
Dalam aturan ini disebutkan bahwa Impor Sementara adalah

pemasukan barang ke dalam Daerah Pabean yang nyata-nyata akan diekspor kembali dalam jangka waktu tertentu.

Terhadap barang impor sementara, importir wajib membayar Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor sebesar 2% untuk setiap bulan atau bagian dari bulan dari jangka waktu izin impor sementara dikalikan jumlah Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor yang seharusnya dikenakan atas barang impor bersangkutan.

Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara apabila pada waktu impornya dipenuhi persyaratan :
a. tidak akan habis dipakai dalam masa pengimporan;
b. dalam masa pengimporan sementara tidak berubah bentuk secara hakiki kecuali karena aus dalampenggunaan;
c. jelas identitasnya; dan
d. ada dokumen pendukung bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.

Apabila barang yg diimpor memenuhi persyaratan diatas, maka barang tersebut bisa mendapatkan PEMBEBASAN atau KERINGANAN bea masuk.

Barang yang dapat diberikan pembebasan Bea Masuk adalah :
a. barang untuk keperluan pameran yang dipamerkan di tempat lain dari Entrepot untuk Tujuan Pameran;
b. barang untuk keperluan seminar atau kegiatan semacam itu;
c. barang untuk keperluan peragaan atau demonstrasi;
d. barang keperluan tenaga ahli;
e. barang untuk keperluan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan;
f. barang pribadi keperluan wisatawan;
g. barang yang diimpor untuk keperluan olahraga serta perlombaan;
h. kemasan yang digunakan untuk pengangkutan barang impor atau ekspor secara berulang-ulang;
i. barang keperluan contoh atau model;
j. cetakan (mould);
k. kendaraan atau sarana pengangkut yang digunakan sendiri oleh wisatawan mancanegara;
l. kendaraan atau sarana pengangkut yang masuk melalui lintas batas dan penggunaannya tidak bersifat regular;
m. barang untuk diperbaiki, direkondisi, dimodifikasi;
n. binatang hidup untuk keperluan pertunjukan umum, olahraga, perlombaan, pelatihan, pejantan, dan penanggulangan gangguan keamanan;
o. peralatan khusus yang digunakan untuk penanggulangan bencana alam, kebakaran dan gangguan keamanan.
p. barang untuk keperluan angkutan laut dan udara dalam negeri.

Barang yang dapat diberikan keringanan Bea Masuk adalah mesin dan peralatan untuk pengerjaan proyek yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

dari keterangan diatas, maka kapal yg digunakan untuk melakukan penelitian atau pemasangan pipa termasuk barang di huruf l, sehingga dapat dibebaskan dari bea masuk.

Read More......