“Pembayaran bunga ke Belanda apakah harus dipotong PPh Pasal 26 atau enggak sih ?”, begitu salah satu pertanyaan yang diajukan teman saya. Wah ini langsung menarik perhatian saya, karena sepanjang yang saya tahu setiap pembayaran bunga ke Luar Negeri harus dipotong dulu PPh Pasal 26-nya, tapi dengan adanya pertanyaan tersebut menggelitik saya untuk menggali aturan-aturan yang ada mengenai pembayaran bunga tersebut.
1. TAX TREATY
Pertama akan kita coba lihat aturan di Tax Treaty (P3B) antara Indonesia dengan belanda dalam Pasal 11 tentang Bunga, yang mengatur antara lain :
a. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa "Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya."
b. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa "Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10%".
c. Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa "Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan".
d. Pasal 11 ayat (5) menyatakan bahwa "Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuanbersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3 dan 4."
Dari hal diatas dapat dijelaskan dengan diagram dibawah ini dengan kondisi perusahaan di Indonesia yang membayar bunga ke perusahaan di Belanda.
2. SE-17/PJ./2005
Kemudian dalam aturan SE-17/PJ./2005 dijelaskan lagi , yaitu :
1. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tatacara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.
2. Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.
Dengan kata lain dalam aturan SE-17/PJ./2005 ini semua pembayaran bunga ke Belanda harus dipotong PPh Pasal 26, baik dengan tarif 10% ataupun 20%.
3. SE-04/PJ.34/2005
Kemudian yang menjadi masalah berikutnya adalah definisi pemilik manfaat, apa sih yang dimaksud dengan pemilik manfaat ini, karena dengan menentukan siapa pemilik manfaat dari bunga yang dibayarkan tersebut, akan berpengaruh terhadap besarnya tarif yang akan dikenakan, jika sipemilik manfaat adalah perusahaan Belanda, maka akan dikenakan tarif 10%, sedangkan jika si pemilik manfaat bukan perusahaan Belanda maka akan dikenakan tarif 20%.
Untuk itu kita melihat aturan di SE-04/PJ.34/2005, yang antara lain menjelaskan bahwa:
1. Wajib Pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut adalah "beneficial owner" dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang berkenaan. Hal ini untuk menjelaskan adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran PajakBerganda (P3B) yang paripurna dengan Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif, tapi dengan aturan ini ditegaskan bahwa tidak cukup hanya dengan Surat keterangan Domisili saja.
2. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
3. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas.
4. Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksuddalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.
Nah, sampai disini perdebatan masih akan terus berlanjut, karena definisi pemilik yang sebenarnya juga masih perlu penjelasan lagi, misalnya yang menerima bunga tersebut adalah perusahaan di Belanda, akan tetapi pada hari yang sama perusahaan di Belanda tersebut juga akan mentransfer dengan jumlah yang sama ke perusahaan lain di luar Belanda, siapa pemilik sebenarnya dari bunga tersebut ?
Untuk menjelaskan definisi pemilik yang sebenarnya ini saya akan mengutip dari tulisan Rachmanto Surahmat di koran Bisnis Indonesia / Senin, 29 Agustus & 05 September 2005 :
Vogel, dalam bukunya On Double Taxation Conventions, 1977, halaman 561-562, mengatakan treaty benefits seharusnya tidak diberikan kepada orang atau badan yang secara formal berhak atas dividen, royalty dan bunga, melainkan kepada orang atau badan yang menjadi pemegang "real" title. Dalam hal ini maka harus diterapkan prinsip "substance over form". Masalah "substance" atas hak untuk menerima suatu penghasilan mengandung dua aspek, yaitu:
hak untuk menentukan apakah hasil tersebut direalisasikan atau tidak, yang dalam hal ini menyangkut apakah kekayaan atau aktiva dimaksud akan digunakan atau disediakan untuk digunakan, hak untuk menggunakan hasil dimaksud.
Jadi dapat dikatakan "beneficial owner", menurut Vogel, adalah, mereka yang bebas untuk menentukan: apakah kekayaan atau aktiva lainnya harus digunakan atau disediakan untuk digunakan oleh orang lain; atau bagaimana hasil dari kekayaan tersebut akan digunakan; atau ke dua hal yang disebutkan di muka.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Vogel melihat masalah "control" merupakan faktor utama untuk menentukan "beneficial owner".
Jadi kalau melihat dari penjelasan menurut Vogel, maka dari masalah pembayaran bunga ke Belanda diatas, jika kontrol untuk menggunakan bunga tersebut dipegang oleh perusahaan Belanda tanpa dapat diatur atau diperintah oleh perusahaan lain, maka perusahaan di Belanda tersebut dapat dikatakan sebagai Beneficial Owner, tapi berlaku sebaliknya, jika perusahaan di Belanda tersebut tidak punya kontrol atas bunga yang diterimanya (misalkan pada hari yabg sama sudah harus ditransfer ke perusahaan lain), maka perusahaan di Belanda tersebut bukan lah Beneficial Owner.
Read More......