hormat grraakk..

hormat grraakk..
Google
 

BLOKIR DAN SITA HARTA

Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai harta dan hak Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank, terlebih dahulu dilakukan :

1. Pemblokiran terhadap harta kekayaan dimaksud.
Untuk melaksanakan pemblokiran harta kekayaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan wajib mengajukan permohonan pemblokiran kepada pimpinan bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan.

2. Pimpinan Bank wajib memblokir seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dan membuat Berita Acara serta menyampaikan salinannya kepada Kepala KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan Penanggung Pajak.


3. Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank, memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak.

Apabila Penanggung Pajak bersedia untuk memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank, maka Penanggung Pajak membuat surat pemberian kuasa kepada pimpinan bank agar memberitahukan saldo kekayaannya kepada Jurusita Pajak.
Apabila Penanggung Pajak menolak memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank dengan tidak membuat surat pemberian kuasa kepada pimpinan bank, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penolakan Pemberian Kuasa oleh Penanggung Pajak.

4. Berita Acara penolakan diatas dapat digunakan sebagai dasar bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud.

5. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dengan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Saksi-saksi, dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.

6. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dalam jangka waktu setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, yang tembusannya disampaikan kepada Penanggung Pajak.

Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, dengan melampirkan bukti pelunasan berupa Surat Setoran Pajak yang telah ditandatangani dan diberi cap oleh bank

7. Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank setelah utang pajak dan biaya penagihan pajak dilunasi baik melalui pemindahbukuan yang dilakukan oleh bank maupun yang dilunasi melalui permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

8. Apabila jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor PelayananPajak Bumi dan Bangunan kepada pimpinan Bank.

9. Pencabutan sita dilakukan apabila:
a. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan tidak menggunakan harta kekayaannya yang telah disita.
b. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menggunakan harta kekayaannya yang telah disita.
c. Telah dilakukan pemindahbukuan ke kas negara

Read More......

Pajak kalo bangun rumah sendiri , lagi..

"Bagaimana jika saya membangun rumah tapi belum selesai, apakah harus membayar pajaknya segera atau menunggu bangunan selesai dulu…”
itulah pertanyaan yang diajukan pada tulisan saya mengenai PPN membangun sendiri. Yang pada intinya kita harus membayar PPN jika kita membangun rumah tanpa menggunakan jasa kontraktor. nah jika kita ingin membayar PPN tersebut, kapan sih kita bayarnya ?

menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000, Pasal 3 ayat (1), bahwa saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat mulai dilaksanakannya pembangunan.
Berarti, begitu kita mulai bangun rumah, maka pada saat itu sudah mulai terutang PPN, terus kalo sudah terutang PPN kapan bayar dan lapornya ?
Kalo bayar tanggal 15 bulan berikutnya, dan lapor tanggal 20 bulan berikutnya (dengan keluarnya PMK 39/PMK.03/2010, maka pelaporan paling lambat adalah akhir bulan berikutnya setelah masa pajak, berlaku mulai 1 April 2010).

Contohnya begini, pak Febner mulai bangun rumah tanggal 4 April 2010, dan selesai tanggal 23 Mei 2010. Biaya yang dikeluarkan untuk bulan April sebesar 15 juta dan di bulan Mei sebesar 25 juta.
Maka paling lambat pada tanggal 15 Mei 2010 pak Febner harus membayar PPN sebesar 600 ribu (15juta x 10% x 40%), dan paling lambat tanggal 31 Mei melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak.
Kemudian paling lambat tanggal 15 Juni 2010 pak Febner harus membayar PPN sebesar 1 juta (25 juta x 10% x 40%) dan paling lambat tanggal 30 Juni melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak.

Read More......

Pajak Sistem Syariah

“Pemerintah akan segera memperbaiki sistem keuangan dan perbankan syariah. Perbaikan yang dijanjikan meliputi penghapusan pajak ganda dalam transaksi perbankan syariah dan Rancangan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara atau Sukuk”. Ini saya kutip dari Koran Kompas tanggal 9 Januari 2008.

Yang dimaksud pajak ganda ini adalah pengenaan dua kali untuk Pajak Pertambahan Nilai atas setiap transaksi pinjaman yang dilakukan oleh perbankan syariah. Kenapa ini bisa terjadi ?

Sistem pinjaman yang digunakan oleh perbankan syariah adalah dengan tidak memberikan uang tunai kepada peminjamnya, akan tetapi mendasarkan diri pada prinsip jual beli.
Contohnya begini,

jika si Fulan ingin meminjam uang ke perbankan syariah untuk melakukan pembelian mobil, maka perbankan syariah akan membeli mobil tersebut kemudian menjualnya lagi ke Fulan. Dan si Fulan akan membayar mobil tersebut dengan cara angsuran ke perbankan syariah.

Ini berbeda dengan sistem yang dilakukan oleh perbankan konvensional, karena perbankan konvensional langsung memberikan sejumlah uang kepada Fulan untuk dibelikan mobil.

Dengan sistem yang dilakukan perbankan syariah tersebut, seolah-oleh terjadi dua kali pembelian, yaitu yang dilakukan oleh perbankan syariah ketika membeli mobil kepada dealer dan juga yang pembelian yang dilakukan oleh Fulan kepada perbankan syariah.

Padahal dalam UU perpajakan disebutkan bahwa setiap transaksi jual beli untuk Barang Kena Pajak akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga dalam system perbankan syariah akan dua kali dikenakan PPN, yaitu ketika perbankan syariah membeli mobil dari dealer dan ketika fulan membeli mobil tersebut dari perbankan syariah, sementara jika dalam perbankan konvensional hanya dikenakan sekali, yaitu ketika si fulan membeli mobil dari dealer saja.

Ini jelas tidak adil, karena pada dasarnya transaksi yang digunakan oleh perbankan syariah bukanlah sebuah jual-beli, tetapi sebuah produk pembiayaan yang mempunyai model jual-beli.
Jadi kalau memang akan dikeluarkan lagi aturan khusus mengenai perbankan syariah ini sangatlah tepat, karena jika hal ini terus diberlakukan akan sangat tidak adil bagi perbankan syariah dalam berkompetisi dengan perbankan konvensional.

Tapi sebenarnya ada juga aturan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah memahami system syariah ini, misalnya Peraturan Menteri Keuangan nomor : 36/PMK.03/2007, tanggal 11 April 2007, yang antara lain mengatur untuk membebaskan PPN atas penyerahan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang perolehannya, secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Read More......